Alkisah beberapa waktu lalu, dalam sebuah proses pembelajaran “anti
korupsi” di kelas ada siswa yang memilih jadi uang recehan.
Alasannya dia tidak mau jadi uang kertas Rp 100.000,-
karena merasa “najis di sentuh koruptor”.
Dia menyakini nahwa uang kertas seratus ribuan dapat
dipastikan ada dalam dompet para koruptor.
Dia memilih jadi uang logam agar sering disentuh orang
miskin, masuk kotak amal di masjid-masjid, dan
berfungsi ganda karena selain untuk alat tukar juga
dapat dijadikan alat kerokan bagi orang-orang miskin yang tak sanggup membayar
dokter,
apalagi beli
obat yang harga terus naik dan tak terjangkau si miskin.
Gagasan siswaku itu, ternyata dapat dijadikan teks
bacaan bagi banyak pelajaran dalam kontks pendidikan karakter,
baik untuk
bidang studi IPS, bahasa Indonesia,
agama, PKn, ekonomi, Agama maupun sosiologi.
Berikut kisahnya yang saya ambil teksnya dari
internet.
Uang Rp.1000,- dan Rp 100.000,- sama-sama terbuat dari
kertas, sama-sama dicetak dan diedarkan oleh dan dari Bank Indonesia.
Pada saat bersamaan mereka keluar dan berpisah dari
Bank dan beredar di masyarakat.
Empat bulan kemudian mereka bertemu lagi secara tidak
sengaja di dalam dompet seorang pemuda.
Kemudian di antara kedua uang tersebut terjadilah
percakapan, uang Rp.100.000 bertanya kepada uang Rp.1000.
“Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor dan bau amis…?
“ Dijawablah oleh uang Rp. 1000,
“Karena aku begitu keluar dari Bank langsung berada di
tangan orang-orang bawahan, dari tukang becak, tukang sayur, penjual ikan dan
di tangan pengemis.”
Lalu Rp.1000 bertanya balik kepada Rp.100.000, “Kenapa
kamu kelihatan begitu baru, rapi dan masih bersih ?
“Dijawab oleh Rp. 100.000, “Karena begitu aku keluar
dari Bank, langsung disambut perempuan cantik dan beredarnya pun di restauran
mahal,
di mall dan juga hotel-hotel berbintang serta
keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet.”
Lalu Rp.1000 bertanya lagi, “Pernahkah engkau mampir
di tempat ibadah? “
Dijawablah, “Belum pernah.”Rp.1000. pun berkata lagi,
“Ketahuilah bahwa walaupun keadaanku seperti ini adanya,
setiap Jum’at aku selalu mampir di Masjid-masjid, dan
di tangan anak-anak yatim, bahkan aku selalu bersyukur kepada Tuhan.
Aku dipandang manusia bukan hanya karena sebuah nilai
tapi karena manfaat.
”Akhirnya menangislah uang Rp.100.000, karena merasa
besar, hebat, tinggi tapi tidak begitu bermanfaat selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar